FIKSI

05. Berpizza Denganmu

BERPIZZADENGANMU copy

“Kalau lebih dari 30 menit kalian harus mengembalikan uang customer pakai duit kalian sendiri, ngerti?” teriak Bu Mirna di depan 4 delivery man, termasuk aku. Kata Deni, rekan kerjaku, belakangan sering banget dibriefing oleh Bu Mirna langsung, biasanya Pak Prapto yang pimpin. Menurut gosip, Bu Mirna sekarang banyak di toko karena habis putus cinta. Dia ditinggal sama calon tunangannya, jadi marah-marah terus. Ah, aku gak peduli, yang penting aku kerja.

Hari ini adalah hari pertama aku menjadi delivery man di Pizza Nana setelah luntang-lantung seperti plastik gorengan yang tertiup angin. Aku punya 3 teman di bagian yang sama, Deni, Rinto, dan Ningrum. Iya, Ningrum itu cewek, aku juga kaget, baru kali ini ada cewek mau nganter pizza. Katanya, naik motor di Jakarta itu baik buat kesehatan jiwa dan mental. Memacu adrenalin dan menguji kesabaran. Kalau Rinto beda lagi, alasannya menjadi delivery man karena dia penggemar Peter Parker. Tadinya mau ngefans sama Batman, tetapi dia terlalu miskin. Ah, lain waktu akan kuceritakan lebih detil tentang mereka ya. Selain delivery man, ada Bondan dan Tikno di bagian produksi, Sari sebagai kasir, Pak Prapto manager toko, dan sudah pasti Bu Mirna si pemilik toko.

Setelah briefing, aku diberitahu Pak Prapto mengenai hak dan tanggung jawab yang aku terima di sini, begini rinciannya :

  • HAK :
    Asuransi kesehatan
    Uang bensin
    Gaji pokok
    Tunjangan hari raya
    Dimarahi Bu Mirna
  • TANGGUNG JAWAB :
    Menjaga Pizza tetap hangat sampai ke tangan pelanggan
    Menjaga Pizza tetap pada konturnya (jangan sampai tumplek)
    Mengantarkan Pizza tidak lebih dari 30 menit
    Menjaga hati agar tidak cinlok dengan pelanggan

Menurutku cukup ringan, tidak mengekang, setidaknya untuk sekarang.

*****

“ALAN PIZZA OUT TO RANI!!” teriak Ningrum dari meja kasir. Yes!! Ini Pizza pertamaku! tanpa pikir panjang segera aku memakai jaket, menuju pick up order, berlari ke motor, memakai helm dan tancap Gas. Rani, aku datang!!!

Blok demi blok dilalui, rumah bergaya mediterania di komplek ini bikin takjub sekaligus minder di waktu bersamaan. Gak kebayang harus nabung berapa abad lagi biar bisa punya rumah mewah kayak gini. Boro-boro rumah mewah, bayar parkir ATM aja gak rela. Setelah 10 blok akhirnya sampailah di rumah mewah bernomor 7A. Rumah di depanku ini sekilas gak ada perbedaan dengan sekelilingnya, cuma lebih kecil sedikit dan lebih bersih. Mungkin si pemilik rumah rajin merawat atau paling tidak mempunyai asisten rumah tangga yang hebat menjaga estetika. Aku langsung masuk melewati halaman dan menekan bel yang ada di sisi pintu. “Ting..tong..ting..tong.. Pizza Nana Delivery.” Pintu pun terbuka tepat setelah 5 detik bel berbunyi. Terlihat sosok perempuan berparas ayu khas asia tenggara, kulitnya sebersih mutiara samudera hindia dibalut kaos putih longgar dan celana pendek merah muda. Rambut hitam panjangnya terurai melewati kedua lengan yang bikin pengen senderan, berat dan tinggi badannya ideal, gak lebih tinggi atau berat dariku. Dengan kondisi masih mengagumi keelokan ciptaan Tuhan ini, aku mencoba melanjutkan tugas sebagai mas-mas pengantar pizza.

“Dengan saudari Rani?” aku memastikan apakah pizza ini tepat sasaran.
“Iya benar saya rani, ini pizzanya ya mas?” Rani membalas dengan suara yang lebih tenang dari permukaan Danau Toba.
“Iya mbak, totalnya tujuh puluh ribu.”

Rani pun mengeluarkan uang dari saku celananya. Ngeluarin duit aja cantik, apalagi ngeluarin perasaan sukanya kepadaku. Pemandangan gunung fuji pasti  minder kalo ngeliat Rani. Aku serius, lain kali kalau sempat aku akan minta fotonya dan kutunjukkan ke kalian ya.

Selesai proses transaksi, aku pun pamit diiringi senyum manis Rani yang masih ada di depan pintu. Di atas motor aku masih takjub. Dia tergolong ramah untuk seukuran anak orang kaya. Aku berasumsi dia di rumah sendiri ditinggal kedua orang tuanya yang lagi tugas ke luar negeri, kelaparan, dan gak ada asisten rumah tangga untuk bantuin dia. Makan sendiri, bersih-bersih rumah sendiri. Ahh..udah cantik, ramah, mandiri pula. Kali ini aku sadar, ternyata tanggung jawab poin ke 4 yang diberikan Pak Prapto terasa berat.

Satu tanggapan untuk “05. Berpizza Denganmu

Tinggalkan komentar