Aku adalah mahasiswa semester 5 fakultas hukum salah satu perguruan tinggi swasta tidak terkemuka di Jakarta. Keputusan mengambil jurusan ini bukan semata-mata ingin membela kebenaran, tetapi lebih karena tuntutan orang tua yang memiliki cita-cita melihat anaknya tampil dalam acara debat pengacara di televisi.
Pacarku, Mira, cewek asli Bandung dengan karakteristik khas dataran sunda. Kulit putih, bibir tipis, rambut sebahu, dan yang paling aku suka adalah alisnya nggak digambar kayak cewek jaman sekarang. Tetapi sayang, di balik kesempurnaannya, Mira punya sebuah kekurangan, yaitu memilihku menjadi kekasihnya, Alan Hendarto, tuna wicara kelahiran Jogja 17 Februari 1995.
Kenapa aku sebut itu sebuah kekurangan? Karena Mira adalah perempuan terbodoh yang pernah aku kenal. Karena Mira adalah perempuan paling tidak realistis sedunia. Karena aku merasa payah di depan Mira dan di hadapan para pria yang mendekatinya.
***
Sama seperti pasangan yang lainnya, setiap malam minggu aku main ke rumah Mira, kebetulan letaknya di Jakarta Utara, cukup jauh dari kosanku. Lagi-lagi aku merasa Mira adalah perempuan bodoh, coba deh kalian pikir, masa dia mau sama aku yang ke mana-mana naik bus kota? Padahal Mira bisa mendapatkan pria dengan tunggangan roda empat, ya minimal roda dua.
Setelah berjalan 500 meter dari tempat pemberhentian bus, sampailah aku di depan rumah Mira. Gaya mediterrania sengaja diambil orang tua Mira untuk dijadikan identitas bangunan tersebut, bagian paling aku suka adalah adanya lampu-lampu temaram di beberapa titik yang menambah kesan tenang di saat malam. Aku selalu bahagia ketika mulai masuk ke halaman depan rumahnya, rasanya seperti di rumah sendiri.
“Tok..tok..tok!” sambil merapikan baju aku mengetuk pintu. Namun seperti biasa, selalu tidak ada jawaban dari Mira atau penghuni lainnya. Ya sudah, aku masuk saja, toh keluarga Mira sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri.
Segera setelah membuka pintu, tidak kudapati satu orang pun di ruang tamu. Dengan perasaan bahagia aku berjalan menuju lorong yang terhubung ke ruang keluarga. Lorong ini pun terasa menyenangkan, terlihat jelas foto-foto liburan Mira sekeluarga ketika keliling Eropa, dan jelas ada fotoku bersamanya, kalau tidak salah itu adalah hari sebelum aku pergi.
“Nah, bener kan pada di sini” bisikku dalam hati. Suasana ruang keluarga selalu saja ramai, ada orang tua dan adik-adik Mira berkerumun membentuk lingkarang, dan tidak lupa Ibuku turut duduk di sana. Iya, Ibuku memang sudah sangat dekat dengan keluarga Mira.
Segera aku menghampiri Mira, menyilakan kaki sambil memandang matanya yang sedang terpejam. Aku selalu suka mendengar kalimat yang Mira ucapkan setiap kali aku datang. Kalimat yang membangun, meneguhkan, menguatkan setiap jiwa yang mendengarnya. Bagian paling aku suka adalah di akhir kumpulan kalimat tersebut, Mira selalu bilang “Baik-baik di sana ya Alan.” lalu aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk sebagai isyarat “Iya, sayang …”
Ini kok sedih sih…
SukaSuka
Waaa suatu kehormatan dibaca blogger idola. 😀
Iya, kebayang sedih :’|
SukaSuka
Ceritanya terharu bangetttt, sampai aku nangis tujuh hr tujuh malam……
SukaSuka