Saya tidak bertanggung jawab jika bulu kuduk dan bulu-bulu lain milikmu berdiri. Harap tidak dibaca oleh individu yang mengidap penyakit jantung, epilepsi, gangguan janin, dan batuk tidak berdahak. Selamat menikmati cerita berikut ini, biar lebih terasa horror coba dengarkan jingle tepung beras rose brand terlebih dahulu, salam mencekam.
***
Ketika itu adalah weekend terakhir di bulan Januari, seperti yang sudah dijadwalkan di bulan sebelumnya, aku, Bayu, Doni, Rita, Asri, dan Ningrum berencana untuk berlibur di daerah puncak, tepatnya di Villa milik orang tua Bayu. Selain gratis, suasana di sekitar Villa katanya sejuk, banyak pemandangan indah, dan jauh dari kebisingan, setidaknya itu yang Bayu katakan ke kami.
“Buruan dimasukin ke bagasi Don!“, teriak Asri sambil memasukan makanan ringan ke dalam kantung plastik. Doni memang memiliki postur tubuh paling besar di antara kami, jadi ya gitu deh, bisa diandalkan untuk mengangkat barang-barang, kalau Bayu cuma menang ganteng, sedangkan aku adalah satu-satunya orang yang bisa nyetir di kelompok kami, jadi dapet hak khusus buat istirahat sebelum berangkat.
Tepat jam 7 pagi kami berangkat, perkiraan tiba di lokasi sekitar jam 10 itu udah sama macet. Asri, Rita, dan Bayu duduk di tengah, karena badannya besar, Doni dipaksa duduk di belakang bareng sama tas-tas kami, dan aku ditemani Ningrum, perempuan yang gak pernah tahu kalau aku suka sama dia. Kenapa dia gak pernah tahu? Karena aku gak pernah bilang. Kenapa aku gak pernah bilang? Karena dia udah punya pacar. Gitu
Setelah perjalanan yang cukup panjang, jam 10.15 pagi kami pun sampai di Villa milik orang tua Bayu. Syukurlah keadaan sekitar Villa sesuai sama apa yang dideskripsikan Bayu sebelumnya. Tetapi sayang, tempatnya masih kotor karena kata Bayu Kang Aan si penjaga Villa tersebut hanya datang satu kali seminggu untuk bersih-bersih. Yah gak apa-apa nyapu-nyapu sebentar, yang penting dikerjakan rame-rame pasti cepat selesai.
“Gilaa, bukannya seneng-seneng malah disuruh kerja bakti“, keluh Asri setelah kami selesai membersihkan seluruh isi ruangan. “Sri, ini tempat baru, kita harus kasih aura positif, jangan marah-marah deh“, bisik Rita pelan. Ya, kami baru kelar sekitar jam 3 sore, semua terlihat kelelahan, kecuali Ningrum, dia selalu saja ceria, itu yang membuat aku tergila-gila.
Suasana Villa ketika pagi dan malam terasa jauh berbeda. Kalau pagi terlihat seperti perumahan di Eropa dengan pohon besar dan rumput yang hijau karena memang dulu arsitek Villa ini terinspirasi dari film-film kolosal Barat. Sekarang, ketika jam 7 malam bangunan ini lebih terlihat seperti perempuan murung yang ditinggal kekasihnya, mencekam, apalagi kami lupa untuk mengganti beberapa lampu yang sudah mati di beberapa titik.
Untuk menghangatkan suasana, kami berkumpul di ruang tengah, kebetulan Bayu membawa kartu remi. Dan ternyata benar, keseruan kami membunuh sunyi yang sebelumnya membuat ketakutan tersendiri. Kami tertawa lepas melihat hukuman yang diberikan ke Doni karena selalu kalah dalam bermain. Hingga suasana kembali hening setelah terdengar suara batuk seseorang yang bukan dari kelompok kami..
“Lo batuk Bay?“, kataku sambil menatap Bayu. “Engga Lan“, jawab Bayu tak kalah serius. Kami pun melihat satu sama lain, dan memastikan bahwa tidak ada yang batuk di antara kami. Segeralah kami berpindah ke ruang tamu, tepat di depan pintu masuk. Suasana kembali sunyi, kami hanya bisa berkomunikasi lewat bahasa mata dan tubuh sambil berusaha memecahkan misteri tadi.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 1 malam, karena takut masuk kamar, kami memutuskan untuk tidur bersama di ruang tamu. Rasa capek emang gak bisa bohong, setakut-takutnya kita, kalo kelelahan pasti gampang banget buat tidur. Dan kami pun terlelap, terbawa mimpi masing-masing.
Di tengah suasana yang masih mencekam, tiba-tiba Ningrum terbangun dari tidur dan berteriak “AAAAAA DARAHHHHH ADAA DARAHHHH.. ALANN BANGUNN!! DONI!! BAYU!! ASRI!! RITAA!! BANGUNNN!!!“. Kami pun segera terbangun mendengar Ningrum yang teriak kesetanan. Dan betul ada darah yang mengalir deras, kami semua terkejut di tengah malam yang masih menyisakan kengerian ditambah lagi hal aneh yang ada di Villa itu. Kami mencoba berpikir jernih.
Pelan-pelan kami semua menenangkan Ningrum yang masih shock. Aku pun berpikir untuk mencari asal darah yang menggenangi ruang tamu. Dan aku pun mendapatkan jawaban tidak lama setelah menelusuri jejak darah itu. Aku segera memeluk Ningrum agar dia tidak panik.
Setelah perasaannya kembali tenang, sambil memeluknya aku bertanya kepada Ningrum “Kamu gak bawa pembalut?“. Masih di dalam pelukan, dengan sisa isak tangisnya Ningrum menjawab “Enggak“. “Yaudah, lain kali kalo pergi-pergi siapin pembalut ya, biar darahnya gak kemana-mana“, kataku penuh kasih. “Iya Alan, makasih ya“, jawab Ningrum sambil menenggelamkan wajahnya di pelukanku.
***