Tak Berkategori

Tentang Sakit dan Lamunannya

Saya memiliki anak bernama Bena. Ketika pos ini ditulis, umurnya baru menginjak 7 bulan. Kulitnya cerah, matanya besar, hidungnya cukup panjang, persis Ibunya. Hobinya tersenyum dan mengamati hal-hal. Ciuman di kening selalu membuat bibirnya tersimpul manis. Sedang rangkaian gordyn kerap menjadi subyek favorit pengamatannya.

Bena anak yang baik. Meskipun usianya kecil tetapi hatinya besar. Entah bagaimana dia selalu mengerti kondisi orang tuanya. Hal sederhana seperti tidak rewel ketika dibawa dan ditinggal bekerja, atau memeluk kami ketika sedang gusar.

Selama perjalanan menjadi orang tua, saya mengalami sebuah pengalaman yang berat dan bermakna. Bena jatuh sakit. Pencernaannya terganggu disertai muntah yang memaksa kami membawanya ke Rumah Sakit. Saya tidak sampai hati melihat Ben terkulai lemas.

Ketika itu saya melamun lalu berdoa, “Tuhan, pindahkan sakitnya Bena ke aku saja. Biar aku yang sakit, jangan Bena.” Kalimat yang pernah saya dengar di sinetron ini nyata saya ucapkan lantang di balik kemudi kendaraan.

Tebak apa yang terjai? Ya betul, tidak langsung semata-mata doaku terkabul. Bena tetap sakit. Ibunya pun, disusul aku. Kami bertiga sakit bersama. Ahh keluarga ini memang sungguh kompak.

Doa yang sempat saya ucapkan tadi tiba-tiba membawa lamunan ke peristiwa penyaliban Yesus. Kami (setidaknya saya dan umat kristen lainnya) percaya bahwa Dia mati di kayu salib karena menanggung kami yang “sakit.” Niat untuk menerima “beban” bisa jadi sama, tetapi penyebab Bena sakit adalah karena bakteri, sedang aku dan lainnya karena dosa.

Kisah Yesus di alkitab satu-satunya pedoman bagaimana menjadi Bapak buat saya. Memang masih jauh dari sempurna, tetapi paling tidak kita rawat dengan sukacita. Untuk setiap Bapak yang membaca tulisan ini, kiranya bahagiamu selalu nyata. Kadang berat, tetapi banyak sukanya.

Amin.

Tinggalkan komentar