Minggu lalu, saya dan dua orang lain berkesempatan mengikuti pelatihan singkat menjadi barista kedai kopi. Kegiatan hari itu berlangsung menyenangkan dengan trainer yang ramah dan informatif. Pelatihan ini dibagi menjadi 2 sesi, teori dan praktik. Sebagaimana teori, pada bagian ini kami diberikan informasi mengenai seluk beluk perkopian-dari mulai biji sampai peralatan yang dipakai. Lanjut ke tahap praktik di sore hari, ini yang sebenarnya saya tunggu.
Mengoperasikan mesin kopi dan anteknya ternyata tidak semudah yang terlihat. Kita harus paham betul karakter biji kopi serta waktu seduh pada mesin sebelum menghasilkan sarinya, espresso. “Gila pahit banget!” teriak saya setelah mencicipi espresso. Lain hal dengan peserta lain, mereka begitu santai dan menikmatinya. Bahkan bersloki-sloki.
Tulisan ini bukan tentang saya mengikuti pelatihan tersebut. Cerita di atas adalah gambaran bagaimana cara (setidaknya untuk saya) merespon kesedihan.
Espresso adalah sedih yang terseduh dari tekanan kehidupan. Pahit. Saya penasaran kepada beberapa orang yang dengan bahagia menjadi penggemar berat kopi murni ini. Beberapa teman mengatakan bahwa mereka sudah terbiasa. Memang awalnya pahit, tetapi kalau dicoba terus akan terasa… tetap pahit. Betul, mau dicoba berkali-kali rasa pahit itu memang selalu melekat. Penikmat kopi sejati tidak berfokus kepada sensasi tersebut, tetapi tasting notes di setiap kecapannya yang mejadi perhatian. Ada nutty, fruity, chocolate, dan lain-lain.
Kembali pada kesedihan. Perasaan sedih tidak akan hilang, tetapi selalu ada tasting notes di setiap kejadiannya. Betul, ini tentang kebiasaan. Semakin sering menikmati keadaan buruk, semakin lihai kita menghindari rasa terpuruk. Betul, ini tentang kecerdikan mencari hikmah. Semakin sering menari atas tragedi, semakin lincah kita mengetahui rencana yang Tuhan beri.
Jadi, kapan waktu yang tepat untuk merayakan kesedihan? ketika kamu sudah tidak dapat mengeluhkannya.
Amin.