Cuaca Jakarta siang ini sedang begitu panas, seperti perempuan yang melihat kekasihnya bermesraan dengan orang yang entah siapa. Gerah, seperti seorang pemuda yang berjalan di gugusan Sudirman dan belum mendapat kabar dari lamaran kerja sampingan. Oke, yang terakhir itu aku.
Belum datangnya kabar dari Bu Mirna membuat langkah kakiku menuju kampus terasa berat. Terakhir dia bilang setelah satu minggu dari wawancara akan menghubungiku, tetapi sampai detik ini belum ada telepon atau sms yang mengisyaratkan aku diterima bekerja di Pizza Nana. Menurutmu bagaimana? aku harus tetap menunggu atau langsung menghubungi Bu Mirna untuk minta kejelasan?
Sejak aku tak memiliki pekerjaan, aktivitas menggunakan sepeda motor memang sengaja aku kurangi untuk menekan pengeluaran. Bukan hanya harga bensin yang meningkat, tarif parkir kawasan Jakarta mengharuskanku merogoh kantong dalam-dalam. Mendingan jalan kaki, uangnya bisa untuk makan di warteg Bu Nani. Jadi jangan heran kalau kau sering melihatku berkeringat di depan ruang Pak Bagyo, dosen pembimbing yang mau aku temui sekarang.
Setelah kurang lebih berjalan sejauh 1 km, sampailah juga di depan ruang Pak Bagyo. Umur beliau sekitar 50an, sudah 15 tahun mengajar di kampusku, dan terkenal sebagai dosen paling jahat se-jurusan teknik sipil. Kau bayangkan saja, semester lalu ada mahasiswi yang disuruh mencium sikutnya sendiri selama ujian berlangsung karena ketahuan menyimpan contekan di dalam rambutnya. Selain itu pernah seorang mahasiswa diminta mencelupkan kakinya ke dalam adukan beton ketika kuliah tekonologi bahan bangunan. Katanya waktu itu beton itu seperti kawan, kuat tidaknya harus dirasakan sendiri dengan indera yang kita punya. Tipikal dosen aneh yang masih memakai cara lama untuk mendidik dan gak terima masukan mahasiswanya.
Setelah mendengar ini mungkin kau berpikir bahwa aku cari mati memilih beliau sebagai dosen pembimbingku. Ya mau gimana lagi, hanya Pak Bagyo yang masih tersedia, dosen lain sudah kepenuhan mahasiswa. Aku hanya memohon doa kepada kalian agar bimbingan pertamaku ini lancar. Jangan lupa bilang ke Tuhan kalian masing-masing untuk menyuruh Bu Mirna menghubungiku.
30 menit berlalu, terlihat Pak Bagyo berjalan ke arahku. Dengan gemetar aku menatap matanya lalu perlahan mengarahkan sedikit ke bagian kepala, terlihat area seluas kue cucur yang sudah gundul. Kau pasti bisa bayangkan sudah setua apa dia.
“Selamat siang Pak Bagyo,” kataku sopan.
“Siang, kamu siapa ya? ada keperluan apa?” jawab Pak Bagyo.
“Saya Alan Pak, saya mahasiswa bimbingan Bapak,” jawabku sedikit gentar.
“Oh, oke.”
Tanpa pikir panjang aku memasuki ruangan, mengikuti Pak Bagyo yang berjalan di depanku. Aku percaya Pak Bagyo adalah tipikal dosen yang sayang keluarga. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya foto keluarga di meja kerjanya. Ada foto ketika berlibur bersama istri, anak, dan beberapa hewan melata. Dilihat dari foto, Pak Bagyo memiliki satu istri dan dua anak perempuan. Aku yakin ketika muda istri Pak Bagyo adalah salah satu idola para remaja. Masih ada sisa-sisa kecantikan di raut muka istri beliau. Kau tahu Widyawati? nah kira-kira seperti itu.
Lalu aku yakin anak pertama Pak Bagyo sudah berkeluarga, karena ada foto beliau bersama seorang anak kecil dan sepasang laki perempuan berumur 30 tahunan. Aku rasa anak Pak Bagyo ini sukses, mobilnya mewah, buatan eropa. Kalau anak kedua sepertinya seumuranku, terlihat jelas di dinding sebelah kanan ada foto Pak Bagyo memeluk seorang gadis berambut pendek di sebuah gereja. Sebentar, aku pernah lihat gadis ini di mana ya? oh! aku pernah melihatnya di televisi, kalau tidak salah iklan pemutih kulit. Pantas saja anak kedua Pak Bagyo ini terlihat sangat cerah, semoga secerah masa depanku.
“Jadi, gimana?” Pak Bagyo memulai percakapan.
“Ini Pak, saya mau mengusulkan judul untuk skripsi saya,” sambil menyodorkan beberapa lembar kertas.
“Pengaruh Tangga Putar terhadap Keharmonisan Rumah Tangga? maksudnya apa ini?” tanya Pak Bagyo heran.
“Maksudnya feng shui Pak, saya mau mengkombinasikan aspek sipil dan psikis,” aku mulai gemetar.
“Sekarang kamu keluar dari ruangan saya dan ganti judul sampah ini!” bentak Pak Bagyo.
Seketika aku pun segera angkat kaki dari ruangan. Sebenarnya aku sudah memprediksi hasilnya akan seperti ini, tetapi tetap saja ada perasaan kaget dan kecewa secara bersamaan. Kaget karena aku tak menyangka bentakan Pak Bagyo lebih keras dari toa demonstrasi. Dan kecewa karena Pak Bagyo tidak mengerti bahwa tangga putar dan rumah tangga memiliki ikatan emosional, karena masing-masing mengandung kata “tangga.”
Dengan langkah gontai aku berjalan ke luar kampus. Kembali menempuh 1 km melalui gugusan Sudirman. Menuju ruang 3×3 tempatku berteduh dan berdoa. Sesekali aku melihat layar handphone, belum ada kabar dari Bu Mirna.
Kebayang nih, kalo nih bikin web series di youtube asik banget
SukaSuka
Ceritanya lucu
SukaSuka