Makin kesini makin resah sama event lari mahal yang digelar di Indonesia, khususnya Jakarta. Kenapa harus mahal dan banyak orang mau bayar mahal cuma buat mengayunkan kedua kakinya.
Kita telisik dulu pada point pertama, KENAPA BIAYA PENDAFTARANNYA MAHAL.
Seperti yang kita tahu, saat ini banyak dijual running kit dengan harga yang cukup fantastis untuk kelas menengah seperti saya. Dulu saya cuma kenal sepatu lari, sekarang ada yang namanya arm band (suatu produk yang terbuat dari karet atau semacamnya, ditempatkan di lengan dan berguna untuk tempat smartphone, jadi bisa lari sambil denger lagu-lagu yang ngingetin kamu sama masa lalu), ada pula fuel band (suatu produk untuk mengkalkulasi jumlah kalori yang telah terbakar setelah kamu lari), dan kangen band (suatu produk yang terbuat dari ubi-ubian untuk mengkalkulasi dosa yang telah kamu perbuat di dunia ini). Jelas dari segala macam running kit , yang paling krusial adalah sepatu, jadi semua harus pake sepatu kalo lari di aspal, kecuali lagi agustusan, bisa deh tuh lari pake bakiak. Harga sepatu lari berkisar 100ribu – jutaan, tergantung kualitasnya. Saya cukup yakin harga sepatu peserta event2 lari berbayar itu paling murah 200ribu (berdasarkan pengamatan selfie orang-orang). Jadi, sebelum mengikuti event, kita sudah merogoh kantong untuk kebutuhan pribadi. Dan kita harus mengeluarkan biaya lagi untuk biaya pendaftaran. Seperti telah diketahui oleh khalayak, harga event tersebut berkisar antara 200ribu-an, mahal kan?!
Mungkin biaya tersebut mahal karena harus menutup jalan raya yang akan dilalui para pelari. Bisa juga mahal, tetapi kalau emang begitu kenapa gak lari sendiri di tempat yang gratis aja, banyak tuh jalan buat lari, jogging track juga tersedia dimana-mana.
Mungkin biaya tersebut mahal karena nominal racepack yang cukup tinggi. Yaelah, isi racepack cuma kaos, minum, tas, timer* kacamata* note* (*tergantung jenis event larinya). Harga isi racepack gak sadis kok.
Mungkin biaya tersebut mahal karena emang demand-nya lagi tinggi jadi pihak penyelenggara merasa aman untuk menghargai segitu. Bisa juga, berlari bersama saat ini sudah menjadi trend di kalangan masyarakat, mungkin kalau udah gak jadi trend, pihak penyelenggara dapat menurunkan harga tiketnya.
Suatu Trend terjadi karena dilakukan secara massive dengan ritme yang cukup sering , lalu apa yang menyebabkan banyak orang RELA MENGELUARKAN UANG YANG TIDAK SEDIKIT UNTUK MENGIKUTI EVENT BERLARI
Era media sosial beberapa tahun belakangan ini semakin berkembang, terbukti dari segi kuantitas penggunanya semakin meningkat, namun etika bermedia sosialnya cenderung menurun, hal ini ditandai dengan beberapa kasus yang terpicu dari ketidakarifan dalam menggunakan media sosial (sudah nuel, jangan ngomongin kejelekan orang). Oke baiklah, Kebutuhan manusia dalam bermedsos semakin bertambah, dari hanya ingin mengupdate status galau, mencari berita yang sedang populer, ngikutin kegiatan seleb idola, sampai ngestalk gebetan yang lagi deket sama mantannya (emot patah hati di udara). Media sosial bisa jadi ikut mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang di dalam hidupnya, contohnya ya berlari ini.
Mungkin orang yang ikut lari mahal ini ikut2an orang yang juga ikut2an yang lainnya karena banyak dishare di medsos. Jadi, mereka lari karena pengen pamer di medsos, gitu? mmmm…. tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.
Pernah sedikit berdiskusi dengan teman yang juga suka ikut lari mahal semacam ini, waktu saya tanya “kenapa sih ikut lari mahal? gak sayang duitnya?”, dan teman saya menjawab kurang lebih seperti ini “Setiap orang memiliki hobinya masing-masing, dan orang kalau udah hobi bakal rela mengeluarkan duit berapapun untuk hobinya”. Saya sepakat dengan statement dia tentang konsep hobi, tapi tidak dengan hobi lari.
Mari kita ambil contoh, Photography, kamera dan segala macamnya juelas bukan perangkat yang bisa dibeli dengan menukarkan 3 bungkus momogi. Semua peralatannya mahal. “Tetapi apakah memotret itu mahal?” tidak. Teman saya ada yang photographer, dia lebih banyak menyalurkan hobinya dengan pergi ke suatu tempat untuk motret. Oke mungkin ada beberapa tempat yang masuknya bayar, tetapi motretnya GRATIS. Ada juga motret berbayar, biasanya dilakukan oleh suatu penyelenggara/perkumpulan secara kolektif untuk membayar modelnya. Jelas dong, ada perbedaan object antara memotret biasa dan berbayar.
Hobi Futsal, Sebelum main futsal beli dulu seperangkat alat futsal, jelas butuh biaya. Mainnya nyewa lapangan? iya dong, karena hampir tidak ada lapangan gratis untuk bisa memfasilitasi pemain futsal. Kalo emang ada lapangan gratis, saya yakin lapangan itu bakal penuh terus karena pasti bakal pilih yang gak bayar. “Lho itu kalo ada turnamen kan bayar pendaftaran, gimana hayo?” suatu turnamen tujuannya adalah untuk memperoleh kemenangan kan, di dalam suatu kemenangan ada reward yang didapat oleh pemain tersebut, ya itu yang dicari makanya bayar. Kalo lari mahal mau nyari apa? lha wong gratis sama bayar sama-sama gak dapet piala atau duit 🙂
Jadi, statement teman saya tidak cukup memuaskan dahaga saya akan tujuan lari mahal ini.
Ada juga teman saya yang berpendapat lain, dia berkata “Sensasinya berbeda ketika kamu lari sendiri atau bareng beberapa teman dengan kamu lari rame-rame”. Jadi ini masalah euphoria lari itu sendiri. Saya cukup sependapat dengan statement ini karena menyangkut kepuasan batin seseorang. Kalau kita sudah bicara perasaan, ya kita sebagai manusia bisa apa :’) . Sebenernya kalo euphoria yang dicari, bisa kok kita melakukan dengan gratis, ajak teman kantor / kampus / sekolah kamu yang banyak, lari deh tuh di tempat-tempat Car Free Day , sama kan? Kepuasan batin dapet, ramah di kantong juga. Tetapi balik lagi ke pribadi masing-masing, kalau memang berlebihan materi, bisa dicoba untuk ikut acara lari rame-rame, kalau yang ngepas mending lari-lari di tengah gerimis hujan sambil dengerin lagu “berhenti berharap-sheila on7“
Lari sekarang udah kayak Rumah Makan Padang Sederhana, namanya aja yang merakyat, harganya mahal.